Minggu, 24 November 2013

Persembahanku

Para Pembaca terkasih,
            Ada sekitar 3 tahun jarak antara saat saya bertanya: “Adakah aku Engkau panggil, Tuhan?” dengan kenyataan saya berangkat ke Sukabumi untuk merintis jalan menjadi biarawati. Dalam kurun waktu 3 tahun itu saya mencoba menguji diri apakah saya berani menjawab panggilan Tuhan itu. Salah satu pengalaman saya tulis dalam cerita singkat ini. Cerita ini juga sudah pernah dimuat di buletin Gereja Santo Yoseph Sukabumi edisi Natal tahun 2003.
Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS
Persembahanku

            Sering dikatakan bahwa hidup membiara itu adalah panggilan. Meskipun sebenarnya hidup berkeluarga juga adalah panggilan. Saya sendiri juga kurang pasti kapan saya mulai dipanggil. Waktu SMP saya suka melihat Suster-Suster yang berjalan pulang atau pergi ke gereja. Saya lihat jubah Suster warnanya putih, panjangnya sampai ke mata kaki. Kerudungnya pakai penutup dahi, jadi tidak kelihatan rambutnya. Jarum pentul yang dipakai untuk mengatur lipatan kerudung letaknya sama antara Suster yang satu dengan yang lain.
            Saat SMA sebagai gadis muda saya juga sangat memperhatikan penampilan meski serba sederhana. Waktu itu pergi ke sekolah tidak mengenakan pakaian seragam. Saya punya beberapa helai rok dan blus. Saya pakai secara padu-padan sehingga nampaknya saya beda penampilan padahal bajunya ya hanya itu-itu saja. Saya pelihara kuku cukup panjang supaya jari nampak lentik. Saya rajin mencuci rambut, meminyaki kaki supaya tidak bersisik. Sepatu saya semir dengan daun pepaya. Sepeda untuk berangkat ke sekolah selalu saya lap bersih. Dengan itu saya merasa penampilan saya cukup oke.

            Panggilan menjadi Suster mungkin saat saya mendengar kotbah Romo di gereja. Untuk menjadi Suster harus berani meninggalkan segalanya, katanya. Maka saya mulai memotong kuku saya yang panjang. Memotong rambut saya yang panjang yang sebenarnya sangat saya sukai. Berhenti surat-suratan dengan pemuda idola. Lalu saya pergi ke Pastoran.
            “Romo saya mau jadi Suster.”
            “Oh baik, saya pinjami buku-buku supaya kamu mulai mengenal hidup membiara.” Seminggu kemudian saya datang ke Pastoran lagi dan saya katakan.
            “Romo, saya tidak jadi masuk Suster.” Romo bilang: “Tidak apa-apa.”

            Tapi nyatanya sekarang ini sudah 30 tahun (tahun 2003, jadi tahun 2013 ini sudah 40 tahun) saya hidup membiara. Mungkin Yesus dulu sangat berkenan dengan persembahan saya yang berupa kuku dan rambut, karena itu adalah satu-satunya milik saya. Seperti Yesus berkenan dengan persembahan seorang janda miskin yang hanya mampu memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan.
Sr. Antonia SFS


Selasa, 05 November 2013

Adakah Aku Engkau Panggil, Tuhan?



Para Pembaca terkasih,


Dalam tulisan saya yang pertama, saya mau menuliskan pengalaman saya. Berikut ini pengalaman saya yang sudah pernah dimuat di majalah ROHANI bulan Mei 2002. Sudah lama sekali ya? Tapi sebagai pengalaman, tetap saja begitu. Saya biasanya menulis dengan nama “Valentina Widya”. Selamat membaca dan kapan-kapan saya tulis pengalaman yang lain.


Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS






Adakah Aku Engkau Panggil, Tuhan?


Seorang gadis. Sangat rajin ke gereja. Bukan hanya tiap hari Minggu, tapi hampir setiap hari. Ini karena nasihat ibunya: “Nak, pergilah ke gereja setiap hari selagi engkau belum bersuami. Kalau engkau sudah menikah nanti, siapa tahu, karena banyaknya pekerjaan, kamu tak lagi bisa sering-sering ke gereja.

Adalah hal yang biasa, bila suatu saat gadis itu jatuh cinta. Seorang pemuda bermata tajam telah mencuri hatinya. Ternyata gadis itu tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka berkenalan, berkirim surat, berjumpa, bercanda, berbagi cerita, dan mereka merasa sangat bahagia.

Pada suatu hari Minggu, gadis itu pergi ke gereja. Hari Minggu panggilan. Di akhir kotbah, Romo mengatakan: “Kalian pemuda-pemudi Katolik, bila misa ini nanti selesai, dan kalian keluar dari pintu gereja ini, bertanyalah dalam hatimu. Adakah aku Engkau panggil Tuhan?”

Misa selesai. Gadis itu keluar dari pintu gereja dan bertanya dalam hati: “Adakah aku Engkau panggil Tuhan?” Tak ada jawaban. Si gadis terus berjalan dan dalam perjalanan itu ia dengar pertanyaan: “Adakah engkau mencintai Aku melebihi segala sesuatu?” Dengan cepat dan bersemangat gadis itu menjawab: “Ya Tuhan, aku mencintaiMu melebihi segala sesuatu!”

“Adakah engkau rela meninggalkan orang tua, sanak saudara, harta benda, dan segalanya, untuk mengikuti Aku?” “Meninggalkan orang tua, saudara, bagiku sudah biasa. Meninggalkan harta, aku memang tidak punya. Tapi meninggalkan segalanya, termasuk dia, aku tak bisa. Aku sangat mencintainya.” Terdengar suara tawa.

Kamu bukan mencintai dia, tapi mencintai dirimu sendiri. Bukankah ia seorang mahasiswa, yang menurut perhitunganmu mempunyai masa depan cerah? Bagaimana kalau ia gagal dalam studi?” “Aku tetap mencintainya. Keberhasilan studi bukan jaminan kebahagiaan. Dalam kegagalan itu kami bisa mencari jalan agar kami tetap dapat menghadapi kehidupan bersama-sama.”

“Bagaimana kalau suatu hari dia mendapat kecelakaan, ptah kakinya?” “Aku tetap mencintainya. Dengan cacatnya itu kami akan tetap bersama-sama mencari nafkah dan kami akan tetap bahagia.”Bila dalam kecelakaan rusak wajahnya? Wajah tampan yang selalu kau rindukan itu?” “Aku tetap mencintainya!”

“Jadi, adakah engkau mencintai Aku melebihi segala sesuatu?” “E …, aku …, aku tak tahu!”



Sr. Antonia SFS