Peniten Rekolektin dan Ibu Rosa de Bie
Seperti
St. Fransiskus yang mau tidak mau mengadopsi bentuk-bentuk pertobatan serta
praktek-praktek dari kelompok-kelompok peniten yang ada pada zamannya, demikian
pula yang terjadi ketika pada tahun 1839 Ibu Rosa de Bie memulai kelompoknya di
Bergen op Zoom. Dengan mengambil apa yang ada di Breda darimana cabang mereka
berasal, Ibu Rosa de Bie mau tidak mau mengambil dan meneruskan praktek-praktek
di Breda, sambil memberi tekanan pada hal tertentu sesuai dengan tuntutan
lingkungan RS, tempat mereka bekerja. Dari buku “Peringatan 100 tahun Peniten
Rekolektin” menjadi jelas bahwa misi utama kelompok Rosa de Bie waktu
itu adalah bekerja di RS Umum dengan status resmi karyawati. Tetapi
secara tersembunyi sebenarnya mereka adalah peniten rekolektin, cabang Breda,
yang pimpinan umumnya adalah Ibu Theresia Saelmakers yang nama salinya
Barbara Saelmakers.
Situasi
masyarakat di Bergen op Zoom dan Nederland serta Belgia umumnya pada masa itu
tidak memungkinkan para biarawati untuk hidup
terbuka, karena banyak biara dibubarkan dan karena terjadi tekanan hebat atas
hidup religius oleh pemerintah yang amat liberal. Latar belakangnya adalah
revolusi Perancis serta perang berkepanjangan yang melibatkan hampir semua
daerah yang tadinya Katolik. Gerakan liberal bahkan membubarkan banyak biara
kontemplatif karena dianggap ”tidak produktif”. Beberapa biara aktif
dibiarkan karena dinilai “berguna” untuk kepentingan masyarakat terutama yang
melayani pendidikan (sekolah) dan kesehatan. Kaisar Yosef II dari Austria
banyak berperan dalam menutup jaringan/kontak antara biara-biara induk dengan
cabang-cabangnya sehingga banyak komunitas terpaksa melepaskan diri dan menjadi
kongregasi tersendiri.
Dengan
bekal semangat Peniten Rekolektin Ibu Rosa de Bie dan kawan-kawan tetap
bertahan dan secara diam-diam menjalankan cara hidup serta pekerjaan sebagai
karyawati RS Umum dalam situasi yang serba terbatas. Tetapi ketika RS dijual,
mereka langsung membelinya dan pada tanggal 1 Maret 1882 mereka membentuk
sebuah yayasan bernama “Yayasan Katharina” dengan tujuan: perawatan lansia.
Catatan:
- lalu, pada tahun 1855 Ibu Rosa de Bie membentuk
suatu Badan Hukum untuk karya di RS, dengan semboyan “toeflugt in leiden”
(=pengungsian dalam penderitaan)
Pada tahun 1855
itu juga Uskup Breda memberi sebuah Konstitusi bagi suster-suster peniten
rekolektin di Breda, Roosendaal dan Bergen op Zoom, dengan pembagian/tekanan
khusus dalam bidang karya, yaitu :
- Roosendaal melayani
bidang pendidikan, sedangkan para suster BOZ - untuk karya-karya kasih, yakni perawatan orang sakit
(buku Peringatan 100 tahun --- hal 31)
Tahun 1898, dalam
konstitusi tentang tujuan Kongregasi BOZ dikatakan : ”Tujuannya adalah
untuk menyucikan anggota-anggotanya, dan melayani orang-orang yang memerlukan
bantuan, dengan cara melakukan beberapa karya cintakasih”
Tanda pengenalnya
adalah : Salib.
Tahun 1908 perumusan itu
diubah menjadi: “menyucikan anggota-anggotanya dan berguna bagi semua manusia,
dengan cara merawat orang sakit, dan orang-orang lain yang memerlukan bantuan”
(bdk. Konstitusi SFS 2000, pasal 4).
Sedangkan tentang
semangat anggota-anggotanya Konstitusi 1908 mengatakansebagai berikut:
“Semangat
anggota-anggotanya ialah semangat doa dan kontemplasi, pertapaan dan
pengendalian diri, pelepasan diri dari hal-hal duniawi, ketaatan, kerendahan-hati,
cintakasih dan pengorbanan diri” (Bdk. Konstitusi 2000, pasal 3)
Karena sadar
bahwa mereka keturunan dari Reformasi Limburg maka tentang salib
dikatakan sebagai berikut: “Pada skapulir dipasang tanda pengenal suster-suster
reformasi Limburg, yaitu sebuah salib dengan keterangan tentang sengsara Yesus”.
Pada buku
(Peringatan 100 tahun ... halaman 32), tentang slot (pingitan) bahwa slot
adalah warisan Ibu Yohana dari Yesus yang merupakan otoritas dan
teladan, sedangkan bacaan rohani dikatakan: supaya para suster
membaca buku-buku tertentu saja, yakni buku-buku yang tidak bertentangan dengan
semangat Kongregasi serta bidang karyanya.
Pada tanggal 4
Oktober 1927 Paus Pius XI memberi AD yang baru kepada pimpinan
biarawan/i Ordo III Regular, menggantikan AD Paus Leo X tahun 1521.
Pada tahun 1923, waktu
peringatan tiga abad Reformasi Limburg, kepada suster-suster BOZ, Uskup
Breda menegaskan hal-hal berikut :
1). Para suster
BOZ adalah peniten rekolektin
2). Semangat
kongregasi adalah :
a. Semangat doa
dan kontemplasi (rekolektin)
b. Pertapaan dan
pengendalian diri (Peniten)
c. Pelepasan dari
hal-hal duniawi
d. Ketaatan
e. Kerendahan
hati
f. Cintakasih yang melayani dan pengendalian diri
g.
Keriang-gembiraan fransiskan
Ketujuh point ini
rupanya terpelihara dengan baik sampai abad 21 ini, sebab masih dikutip dalam
Konstitusi 2000.
3). Tentang busana dan slot ditegaskan
bahwa tetap seperti yang digariskan oleh ibu Yohana.
4). Tentang meditasi
dikatakan:
Nama rekolektin
dan tanda-tanda sengsara Yesus yang tertera pada skapulir, mengajak mereka
dengan tak henti-hentinya bersopan-santun dengan sungguh-sungguh, serta
merenungkan kehidupan dan wafatNya “Sang Pengantin Ilahi”
5). Tentang
bacaan rohani ditunjukkan referensi pada
a) Riwayat hidup
Ibu Yohana
b) Riwayat hidup
Santo Fransiskus dan santa Elisabeth serta Orang-orang Kudus Serafik.
Peniten
Rekolektin dan Para suster BOZ di Indonesia
Beberapa catatan
awal.
Dibandingkan dengan
kelompok-kelompok religius lain, suster-suster peniten rekolektin BOZ di
Sukabumi nampaknya mendapat karunia istimewa dari Allah, yang patut disyukuri
terutama karena dua hal yaitu:
1.
Arsip yang rangkap dan
2.
Perkembangan karya
Karena hal-hal
berikut:
1)
Hampir seluruh gerak langkah para perintis Kongregasi
mulai sejak masuk di Indonesia, tepatnya hari Kamis Putih 13 April 1933 sampai
saat ini tercatat dengan baik berkat dorongan Ilahi yang berkarya melalui
berbagai pihak,yaitu:
- Para suster perintis (missionaris pertama)sendiri
(enam orang)
- Para pemimpin di negeri Belanda
- Pihak Hirarki Gereja di Keuskupan Breda di Belanda
- Pastor Proki di Sukabumi waktu itu, Pastor Lukas, SJ
- Para petugas arsip di negeri Belanda
- Para suster di Indonesia yang terlibat dalam usaha
terjemahan dan penerbitan naskah-naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa
Belanda
2)
Bahwa dalam kurun waktu 73 tahun kehadirannya (1933-2006)
di Indonesia, sudah terdapat 11 komunitas yang melayani karya-karya seperti
sekolah (TK s.d. SMA), 2 Rumah Sakit, 2 Poliklinik dan beberapa karya lain
seperti 1 rumah jompo, panti asuhan, 1 rumah retret, yang kesemuanya tetap
bercorak peniten rekolektin.
Sehubungan dengan refleksi ini, maka hal-hal yang ingin
diperdalam secara khusus adalah pokok-pokok yang berkaitan dengan usaha-usaha
serta pengalaman-pengalaman para suster pioner. Dengan kata lain, fokus akan
diberikan pada bagaimana para suster itu berjuang agar visi serta misinya hidup
dan berkembang. Semoga dari situ akan ditemukan hal-hal yang bermanfaat bagi para
pengikutnya dari masa ki ni. Hal-hal itu
antara lain :
1.
Adanya dukungan penuh dari persaudaraan di Belanda. Sejak
diputuskan untuk membuka misi di Indonesia, seluruh persaudaraan giat
menyiapkan segala sesuatu terutama para suster yang tepat hingga terpilihlah 6
orang terbaik.
Dukungan persaudaraan
di Belanda, namapak jelas dalam :
a). Pembicaraan-pembicaraan intensif dengan pihak Uskup
menyangkut korespodensi dengan pihak-pihak di Indonesia, dalam lingkungan sendiri
menyangkut seleksi calon missionaris,
dengan para calon yang potensial
b). Penentuan kriteria calon pastilah dibahas secara
intensif dalam dewan, dengan memperhatikan kemampuan fisik-mental, kemampuan
untuk bekerjasama dan spesialisasi. Dukungan finansial dan doa yang menarik
ialah bahwa soal kesiapsediaan untuk diutus tidak dibicarakan; supaya hal itu
dianggap tidak perlu dibicarakan, sebab dianggap sebagai sesuatu yang otomatis
harus ada dalam diri setiap peniten rekolektin “demi ketaatan”.
2.
Adanya kesadaran untuk terlibat dalam misi universal
Gereja, pergi ke tanah misi. Gairah
zaman di Eropa masa itu, pasti ikut mempengaruhi para religius sehingga
Kongregasi cepat tanggap, begitu ada permintaan dari tanah misi. Walaupun tidak
ada survey namun sama sekali tidak ada keluhan apalagi keberatan soal
kekurangan tenaga.
Semangat misi ini
terbukti kemudian ketika hanya beberapa bulan setelah kelompok pertama langsung
dikirim rombongan kedua dan ketiga, masing-masing satu dan tiga orang suster
pada tahun 1934.
3. Adanya perhatian berupa pendampingan terhadap para misionaris, bukan hanya oleh
pimpinan tetapi oleh seluruh persaudaraan di Belanda, dalam bentuk perayaan Ekaristi saat perutusan, kunjungan Pemimpin
Umum setelah para misionaris berada di tempat (Oktober 1935-Februari 1935) dan pengiriman
uang untuk kebutuhan di tanah misi
4. Sikap dasar
para misionaris perintis ->: iman yang teguh; yang nampak nyata dalam kesiapsediaan
untuk diutus (walau ada yang belum kaul kekal);keterbukaan untuk menerima
situasi baru dan kondisi baru yang sama sekali lain;dan mau menerima fakta di
lapangan, bahwa keadaan tidak seperti yang diharapkan/
dijanjikan/diceriterakan.
Menerima dengan
rendah hati kenyataan bahwa mereka harus hidup dalam kekurangan, dan harus
menangani sendirihal-hal teknis seperti mengurus pipa air Hal 28)
5. Berinisiatif
dalam kekurangan, karena mengutamakan
pelayanan daripada kepentingan sendiri;untuk itu, mereka belajar bahasa Melayu;
mengadakan “studi banding” ke Jawa Tengah dan dalam keterbatasan, berani membuka
cabang pelayanan di Sukanegara, (1936) dan Cibeber (1937) sehingga dalam tempo
4 tahun sudah membuka pelayanan di 3 tempat dengan 11 tenaga
6. Tidak kecil
hati melainkan tegar dalam menghadapi
situasi yang berat, tanpa menjadi defensif: dalam situasi serba kekurangan, bagaikan
‘pengantin baru’*mereka berusaha berhemat dengan cara menabung;teguh dalam iman
menghadapi tekanan dari pihak pemerintah dan masyarakat (yang bahkan) fanatik
Islam *.
- Tetap teguh dan ceria sebagai tawanan perang
! Kisah pada
halaman 22 mempelihatkan suatu perjanjian yang tidak seimbang lebih banyak
kewajiban daripada hak. Namun diterima dengan lapang dada.
7. Adanya
kerjasama yang akrab, sehati sepenanggungan
diantara para misionaris
8. Tetap penuh
syukur dan optimis. Adalah menarik untuk direnungkan, betapa para perintis itu
tetap memperlihatkan rasa terima kasih, syukur dan bergembira dalam keadaan
yang serba sulit tanpa mencari nama, selain untuk kemuliaan Allah;dan untuk
mengenang Fransiskus serta Ibu Rosa de Bie (seperti tertulis pada halaman 16 : “begitulan ...dst...
s.d. ... datanglah membantu kami)
9. Sikap taat dan
pasrah kepada Penyelenggaraan Ilahi sehingga pada waktu perang/pendudukan
Jepang mereka sama sekali tidak takut bahkan sempat ‘kucing-kucingan’ soal duit
(menyembunyikan uang)
- sempat main kartu
disaat ditindas
- tetap
bergembira sebagai tawanan
- walaupun banyak
lalat (disentri) kutu busuk dan
- makan dari
dapur umum
Sikap-sikap yang
diungkapkan itu dengan jelas memperlihatkan adanya ‘kekuatan’ tertentu yakni semangat
Peniten Rekolektin yang pastilah sudah kokoh tertanam dalam diri para suster
perintis, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok.
*
Kebajikan-kebajikan itulah yang patut kita teladani terutama agar kita belajar
tentang kegembiraan dalam kekurangan.
Jiwa dan Semangat
Peniten dalam AD, Konstitusi, Statuta SFS.
1. AD sebagai
jiwa yang mempersatukan dan mengarahkan
2. Konstitusi dan
Statuta sebagai pedoman pelaksanaan
3. Agar semangat
peniten (rekolektin) diperkokh
4. pengendapan
mengagumi
tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan fransiskus, tetapi tak terbilang
juga orang yang memutuskan untuk mengikuti jejaknya karena terpikat oleh cara
hidup dan ajarannya.
Mengapa Fransiskus seperti itu? Apa yang
membuat pribadi Fransiskus disukai? Mengapa cara hidup dan kata-katanya mampu
menyihir orang sehingga diyakini sebagai jaminan pasti?
Fioretti menyajikan sebuah kisah menarik
tentang saudara Masseo, yang juga terheran-heran dan bertanya-tanya seperti itu.
Pada suatu
kesempatan, sdr Masseo bepergian bersama Fransiskus. Karena kerendahan hatinya
yang amat menonjol lagi pula saleh, sdr Masseo disukai oleh Fransiskus. Nah,
ketika sedang berjalan itu sdr Masseo disibukkan oleh satu pertanyaan yang
tidak dapat dijawabnya sendiri. Maka sdr Masseo lalu memberanikan diri untuk
bertanya langsung kepada Fransiskus, katanya ;”Sdr Fransiskus mengapa
dibuntuti? Mengapa engkau dibuntuti? Mengapa seluruh dunia membuntuti engkau?
Perawakanmu tidak menarik, lagi pula engkau bukan bangsawan dan sama sekali
tidak terpelajar. Tetapi mengapa engkau terus dibuntuti?
Dengan tak kalah
rendah hati pula Fransiskus menjawab:”Oh Saudaraku yang baik, engkau mau tahu
mengapa orang-orang membuntuti aku? Mengapa aku? Kalau engkau mau tahu apa
alasannya maka aku mengatakan kepadamu dengan sejujurnya, ialah karena di dunia
ini Allah yang Mahatinggi tidak menemukan seorangpun yang paling hina dan
paling berdosa selain aku”
Masseo tentu tidak setuju. Ia
tidak bisa memahami dan tidak menerima penjelasan Fransiskus karena ia tahu
bahwa Fransiskus sama sekali bukan penjahat, bukan pula seorang pendosa. Tetapi
mengapa Fransiskus terus diikuti?
Fransiskus seorang “Nabi” dan “Penunjuk
jalan”.
Tentu bukan hanya masseo bertanya yang seperti
itu; banyak orang termasuk kita perlu bertanya-tanya, mengapa Fransiskus terus dibuntuti?
Baik selagi ia masih hidup, maupun kini
800 tahun kemudian. Mengapa tak henti-hentinya orang terpikat kepada
Fransiskus? Mengapa kita terpikat dan
memutuskan untuk mengikuti jejak Fransiskus?
Ada banyak
jawaban, dan semuanya benar. Tetapi ada dua alasan yang akan kita refleksikan
yakni pertama Fransiskus seorang Nabi dan kedua karena Fransiskus adalah
seorang penunjuk jalan yang paling manusiawi.
Pada setiap zaman pada tempat dan
dalam kebudayaan tertentu, Allah selalu memgirim orang tertentu sebagai nabi
untuk menyampaikan kehendaknya terutama agar manusia bertobat. Kehendak Allah
yang disampaikan seorang nabi dapat saja berupa sesuatu yang masih akan
terjadi, atau yang sudah pernah ada di masa lalu, tetapi sudah dilupakan orang.
Dalam kedua situasi, itu seorang nabi mengingatkan dan mempersiapkan umat akan
sesuatu yang akan datang atau menyatakan hukuman atas apa apa yang dimasa lalu
pernah dilakukan umat. Sang Nabi mengajak untuk bertobat atau mengajarkan apa
yang harus dilakukan supaya hukuman Allah tidak terjadi. Karena seorang nabi
selalu berada di pihak Allah maka ia adalah “corong” Allah untuk menyampaikan
berkat atau kutuk. Maka itu memperhatikan suara nabi sama dengan memperhatikan
suara Allah, sebab dalam tindakan atau kata-kata Nabi, orang menemukan Firman atau
tindakan Allah. Kedekatannya pada Allah membuat seorang Nabi memiliki daya
tersendiri, mirip seperti Allah yaitu bisa memikat, menarik dan mempesona,
tetapi sekaligus bisa juga menakutkan, menggelisahkan, dan membuat orang
terkesima lalu tunduk dan takut; tergantung dari misi apa yang disampaikan:
Nabi memberi berkat atau kutuk.
Dalam menyampaikan kehendak Allah
seorang Nabi sering memakai cara-cara symbolik, baik dalam bahasa maupun
tindakannya, seperti para Nabi dalam PL (Yeremia misalnya, harus dijamah/disentuh
mulutnya (Yer 1:9) atau ikat pinggang
yang lapuk (Yer 13), buli-buli yang pecah (Yer 19) begitu juga Nabi-nabi lain
dalam PL).
Karena harus menyatakan kehendak Allah,
kehidupan seorang Nabi seringkali, penuh resiko ditolak atau bahkan terancam
nyawanya. Tetapi seorang Nabi tidak pernah takut untuk menyatakan kebenaran
Allah, walaupun nyawanya sendiri terancam (Bdk. Yohanes Pemandi)
Fransiskus seorang Nabi :
Kendati tidak pernah mendapat gelar atau
sebutan Nabi, kata-kata, tindakan dan bahkan cara hidup Fransiskus dalam banyak
hal mirip seorang Nabi. Kata-katanya seringkali tajam menembus isi hati. Sikap serta
tingkahlakunya menyadarkan sekaligus mengajak orang untuk bertobat, dan cara
hidupnya selalu mengajak orang segera menyesali apa yang sudah atau sedang
terjadi dan dengan demkian, mendorong orang untuk bertobat. Fransiskus
mengingatkan orang tentang perilaku yang salah, sekaligus mengajarkan cara bagaimana
memulihkan kesalahan itu. Ajarannya bahkan begitu konkrit sehingga dengan mudah
orang menangkapnya dan dengan senang hati pula melaksanakannya. Symbolisasi
dalam kata-kata atau tindakan Fransiskus juga tidak berbelit-belit.
Kedekatan
Fransiskus pada Allah, kiranya menjadi kunci ampuh untuk memahami banyak hal
tentang Fransiskus. Kedekatannya dengan Allah dihayatinya sebagai sebuah
kenyataan yang harus selalu dipelihara dan dipupuk, bukan sekedar sebuah wacana
atau cita-cita.
o
Dalam Wasiat, berkali-kali Fransiskus mengatakan bahwa Allah sendirilah yang menuntun ,
menginspirasikan dan mengerjakan banyak hal dalam dirinya.
o
Dalam surat-suratnya, betapa sering Fransiskus memakai kata-kata
atau ungkapan yang penuh kasih sayang kebapaan yang prihatin dan penuh
perhatian terhadap orang-orang kecil dan pendosa
o
Para biograf juga menyajikan banyak kisah tentang mengandung
kedekatan Fransiskus dengan Allah Tritunggal, umpamanya; Fransiskus melihat
Sang Mahaindah dalam segala yang indah; Fransiskus melihat Yesus dalam anak
domba, serta binatang-binatang tak berdaya (bdk cacing); Fransiskus melihat
peran Roh Kasih dalam kebersamaan persaudaraan (menulis bait kusus dalam Kidung
saudara Matahari untuk mendamaikan Uskup
dan Walikota Asisi); atau menyuruh Masseo berputar-putar untuk mengetahui
kehendak Roh.
Kedekatan
Fransiskus dengan Allah Tritunggal, khususnya dengan Yesus yang miskin dan
tersalib, membekali dia untuk menjadi bagaikan “bintang fajar” bagi masyarakat
yang hidup dalam kekelaman dosa atau bagaikan “sungai” yang mengisi
ladang-ladang hati yang kering.
Kedekatan itu pulalah yang membuat Fransiskus selalu
penuh dengan Yesus sehingga dalam hal doa dia tidak lagi berdoa tetapi telah
menjadi ‘doa itu sendiri’ (1 Cel ...) Puncak kedekatan itu tentu saja stigmata,
yang menjadikan Fransiskus “Alter Christus” atau gelar yang lain yakni “manusia Allah”