Kamis, 05 Desember 2013

Gembyong

Para Pembaca Terkasih,
            Saya memulai masa postulan saya di Sukabumi sekitar tahun 1970. Ada pengalaman yang saat itu membuat saya benar-benar bersedih hati. Tapi saat ini pengalaman itu hanya membuat saya tersenyum saja. Dan pasti  postulan sekarang ini juga memiliki tantangan mereka masing-masing. Inilah pengalaman saya itu.
Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS


Gembyong

            Piknik. Tak kusangkal, kata itu memang cukup menggembirakan. Setelah sekitar 6 bulan aku tak pernah keluar dari tembok biara ini. Aku sudah mulai memahami pembicaraan-pembicaraan soal: bangun pagi; mimpi; baju putih yang terkena getah pisang; dan hal-hal lain yang dulu tak akan pernah menjadi perhatianku. Ya, apa pula yang akan kami ceritakan? Ah, mungkin juga banyak. Banyak sekali. Tak adil untuk mengatakan bahwa kami kehabisan cerita di dalam biara ini. Cuma kenyataannya, bahwa hal-hal yang dulu kuanggap tak berarti, kini bisa jadi topik.
            Demikian juga dengan bajuku. Baju kami. Kemeja putih berlengan panjang. Rok warna biru dengan rimpel-rimpel di pianggang. Ini pakaian turun-temurun. Tak tahulah aku ini menjadi pemakai yang ke berapa. Yang aku tahu, kemejaku tak cocok ukuran. Lengan kependekan, ukuran badan kebesaran. Rok biru itu terpaksa kuberi peniti di samping kiri dan kanan bagian pinggang. Sedang kelim bawahnya kulipat dua kali dengan lebar sekitar delapan senti. Kami masing-masing menggunakan pakaian resmi ini sebanyak dua stel. Pakaian resmi dikatakan, karena kami pakai untuk Misa setiap hari. Juga hari Minggu. Mungkin juga dapat dikatakan pakaian kebesaran yang punya makna ganda. Tapi aku sendiri menammakan dia baju Gembyong.
            Dan untuk piknik besok pagi, kami mesti memakai baju itu pula. Masya Allah! Tersapu sudah kegembiraanku. Sambil berberistirahat siang di tempat tidur, kutatap langit-langit kamarku yang bercat putih. Tembok putih, dan pintu kamar coklat muda. Besok aku tak mau pakai baju itu, pikirku. Tapi bagaimana? Adakah aku telah diajar untuk tidak taat? Adakah taat sama dengan selalu menurut? Juga kalau hati mengatakan tidak? Hai! Apa-apaan ini? Berpusing-pusing perkara baju.
            Ingat aku pada Romo pembimbingku dulu. Pernah kukatakan: “Romo, saya bosan untuk selalu berpura-pura. Bila hati kesal, mengapa mesti tersenyum? Bila tidak suka, mengapa mesti ramah? Saya mau marah, bila memang saya marah, dan saya mau cemberut bila saya memang kesal.”  Dan Romo menjawab.
            “Memang tak baik untuk berpura-pura. Sebab itu janganlah berpura-pura, tetapi berlatihlah. Berlatih untuk tersenyum; berlatih untuk ramah; dan berlatih untuk bersikap manis. Berlatih, dan kelak kamu akan sungguh-sungguh bisa tersenyum; ramah; bersikap manis; dengan tulus, bukan pura-pura.”
            Dan kali ini mungkn aku juga harus berlatih. Tapi berlatih untuk apa? Untuk tidak berpikir tentang tetek-bengek? Berlatih mengerti bahwa baju itu bukan soal penting. Bahwa sedikit kebesaran atau kekecilan itu tidak perlu dipersoalkan? Tapi bila benar tidak perlu dipersoalkan, berarti sama saja. Apakah saya akan memakai baju putih biru itu, atau memakai yang lain, ah, ah, ah, ….
            Ketika makan malam aku tidak banyak bicara. Dan ini tidak menarik perhatian. Karena memang tiap harinya aku begitu. Meski diamku saat itu ada lain. Hatiku gemuruh antara ya dan tidak. Antara berlatih dan berpura-pura. Antara menolak dan menerima. Antara takut dan berani. Dan masih sekian deret antara yang berputar-putar, bergulung-gulung merunyam kalbu.
            Jam Sembilan malam, semua teman sudah pamit masuk kamar. Tinggal Suster Pembimbing dan aku yang tinggal di ruang rekreasi itu.
            “Engkau tidak tidur Maria? Besok kita akan berangkat pagi-pagi.”
            “Suster, bolehkah saya tidak ikut piknik besok pagi?”
            “Kenapa?”
            “Saya … saya … tidak mau memakai baju biru itu,” dan air mataku pun berhamburan.
            “Pakailah baju yang kamu mau, dan sekarang tidurlah. Besok kita pergi semua.”
            Kulihat kamar teman-teman sudah gelap. Besok pagi mungkin tak ada waktu. Sekarang harus kuberitahukan. Kuambil kertas-kertas dan kutulis dengan huruf besar-besar: “Besok pagi aku memakai pakaian bebas.” Kumasukkan kertas-kertas itu lewat bawah pintu kamar. Esok harinya tak kulihat baju Gembyong itu di antara kami. (Dimuat di majalah Semangat sekitar tahun 1980)

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar