Para Pembaca Terkasih,
Saya
memulai masa postulan saya di Sukabumi sekitar tahun 1970. Ada pengalaman yang
saat itu membuat saya benar-benar bersedih hati. Tapi saat ini pengalaman itu
hanya membuat saya tersenyum saja. Dan pasti postulan sekarang ini juga memiliki tantangan
mereka masing-masing. Inilah pengalaman saya itu.
Salam dan doa
saya
Sr. Antonia SFS
Gembyong
Piknik. Tak kusangkal, kata itu
memang cukup menggembirakan. Setelah sekitar 6 bulan aku tak pernah keluar dari
tembok biara ini. Aku sudah mulai memahami pembicaraan-pembicaraan soal: bangun
pagi; mimpi; baju putih yang terkena getah pisang; dan hal-hal lain yang dulu
tak akan pernah menjadi perhatianku. Ya, apa pula yang akan kami ceritakan? Ah,
mungkin juga banyak. Banyak sekali. Tak adil untuk mengatakan bahwa kami
kehabisan cerita di dalam biara ini. Cuma kenyataannya, bahwa hal-hal yang dulu
kuanggap tak berarti, kini bisa jadi topik.
Demikian juga dengan bajuku. Baju
kami. Kemeja putih berlengan panjang. Rok warna biru dengan rimpel-rimpel di
pianggang. Ini pakaian turun-temurun. Tak tahulah aku ini menjadi pemakai yang
ke berapa. Yang aku tahu, kemejaku tak cocok ukuran. Lengan kependekan, ukuran
badan kebesaran. Rok biru itu terpaksa kuberi peniti di samping kiri dan kanan
bagian pinggang. Sedang kelim bawahnya kulipat dua kali dengan lebar sekitar
delapan senti. Kami masing-masing menggunakan pakaian resmi ini sebanyak dua
stel. Pakaian resmi dikatakan, karena kami pakai untuk Misa setiap hari. Juga
hari Minggu. Mungkin juga dapat dikatakan pakaian kebesaran yang punya makna
ganda. Tapi aku sendiri menammakan dia baju Gembyong.
Dan untuk piknik besok pagi, kami
mesti memakai baju itu pula. Masya Allah! Tersapu sudah kegembiraanku. Sambil berberistirahat
siang di tempat tidur, kutatap langit-langit kamarku yang bercat putih. Tembok
putih, dan pintu kamar coklat muda. Besok aku tak mau pakai baju itu, pikirku.
Tapi bagaimana? Adakah aku telah diajar untuk tidak taat? Adakah taat sama
dengan selalu menurut? Juga kalau hati mengatakan tidak? Hai! Apa-apaan ini?
Berpusing-pusing perkara baju.
Ingat aku pada Romo pembimbingku
dulu. Pernah kukatakan: “Romo, saya bosan untuk selalu berpura-pura. Bila hati
kesal, mengapa mesti tersenyum? Bila tidak suka, mengapa mesti ramah? Saya mau
marah, bila memang saya marah, dan saya mau cemberut bila saya memang
kesal.” Dan Romo menjawab.
“Memang tak baik untuk berpura-pura.
Sebab itu janganlah berpura-pura, tetapi berlatihlah. Berlatih untuk tersenyum;
berlatih untuk ramah; dan berlatih untuk bersikap manis. Berlatih, dan kelak
kamu akan sungguh-sungguh bisa tersenyum; ramah; bersikap manis; dengan tulus,
bukan pura-pura.”
Dan kali ini mungkn aku juga harus
berlatih. Tapi berlatih untuk apa? Untuk tidak berpikir tentang tetek-bengek? Berlatih mengerti bahwa
baju itu bukan soal penting. Bahwa sedikit kebesaran atau kekecilan itu tidak
perlu dipersoalkan? Tapi bila benar tidak perlu dipersoalkan, berarti sama
saja. Apakah saya akan memakai baju putih biru itu, atau memakai yang lain, ah,
ah, ah, ….
Ketika makan malam aku tidak banyak
bicara. Dan ini tidak menarik perhatian. Karena memang tiap harinya aku begitu.
Meski diamku saat itu ada lain. Hatiku gemuruh antara ya dan tidak. Antara
berlatih dan berpura-pura. Antara menolak dan menerima. Antara takut dan
berani. Dan masih sekian deret antara yang berputar-putar, bergulung-gulung
merunyam kalbu.
Jam Sembilan malam, semua teman
sudah pamit masuk kamar. Tinggal Suster Pembimbing dan aku yang tinggal di
ruang rekreasi itu.
“Engkau tidak tidur Maria? Besok
kita akan berangkat pagi-pagi.”
“Suster, bolehkah saya tidak ikut
piknik besok pagi?”
“Kenapa?”
“Saya … saya … tidak mau memakai
baju biru itu,” dan air mataku pun berhamburan.
“Pakailah baju yang kamu mau, dan
sekarang tidurlah. Besok kita pergi semua.”
Kulihat kamar teman-teman sudah
gelap. Besok pagi mungkin tak ada waktu. Sekarang harus kuberitahukan. Kuambil
kertas-kertas dan kutulis dengan huruf besar-besar: “Besok pagi aku memakai
pakaian bebas.” Kumasukkan kertas-kertas itu lewat bawah pintu kamar. Esok
harinya tak kulihat baju Gembyong itu di antara kami. (Dimuat di majalah
Semangat sekitar tahun 1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar