Kamis, 05 Desember 2013

Gembyong

Para Pembaca Terkasih,
            Saya memulai masa postulan saya di Sukabumi sekitar tahun 1970. Ada pengalaman yang saat itu membuat saya benar-benar bersedih hati. Tapi saat ini pengalaman itu hanya membuat saya tersenyum saja. Dan pasti  postulan sekarang ini juga memiliki tantangan mereka masing-masing. Inilah pengalaman saya itu.
Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS

Minggu, 24 November 2013

Persembahanku

Para Pembaca terkasih,
            Ada sekitar 3 tahun jarak antara saat saya bertanya: “Adakah aku Engkau panggil, Tuhan?” dengan kenyataan saya berangkat ke Sukabumi untuk merintis jalan menjadi biarawati. Dalam kurun waktu 3 tahun itu saya mencoba menguji diri apakah saya berani menjawab panggilan Tuhan itu. Salah satu pengalaman saya tulis dalam cerita singkat ini. Cerita ini juga sudah pernah dimuat di buletin Gereja Santo Yoseph Sukabumi edisi Natal tahun 2003.
Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS
Persembahanku

            Sering dikatakan bahwa hidup membiara itu adalah panggilan. Meskipun sebenarnya hidup berkeluarga juga adalah panggilan. Saya sendiri juga kurang pasti kapan saya mulai dipanggil. Waktu SMP saya suka melihat Suster-Suster yang berjalan pulang atau pergi ke gereja. Saya lihat jubah Suster warnanya putih, panjangnya sampai ke mata kaki. Kerudungnya pakai penutup dahi, jadi tidak kelihatan rambutnya. Jarum pentul yang dipakai untuk mengatur lipatan kerudung letaknya sama antara Suster yang satu dengan yang lain.
            Saat SMA sebagai gadis muda saya juga sangat memperhatikan penampilan meski serba sederhana. Waktu itu pergi ke sekolah tidak mengenakan pakaian seragam. Saya punya beberapa helai rok dan blus. Saya pakai secara padu-padan sehingga nampaknya saya beda penampilan padahal bajunya ya hanya itu-itu saja. Saya pelihara kuku cukup panjang supaya jari nampak lentik. Saya rajin mencuci rambut, meminyaki kaki supaya tidak bersisik. Sepatu saya semir dengan daun pepaya. Sepeda untuk berangkat ke sekolah selalu saya lap bersih. Dengan itu saya merasa penampilan saya cukup oke.

            Panggilan menjadi Suster mungkin saat saya mendengar kotbah Romo di gereja. Untuk menjadi Suster harus berani meninggalkan segalanya, katanya. Maka saya mulai memotong kuku saya yang panjang. Memotong rambut saya yang panjang yang sebenarnya sangat saya sukai. Berhenti surat-suratan dengan pemuda idola. Lalu saya pergi ke Pastoran.
            “Romo saya mau jadi Suster.”
            “Oh baik, saya pinjami buku-buku supaya kamu mulai mengenal hidup membiara.” Seminggu kemudian saya datang ke Pastoran lagi dan saya katakan.
            “Romo, saya tidak jadi masuk Suster.” Romo bilang: “Tidak apa-apa.”

            Tapi nyatanya sekarang ini sudah 30 tahun (tahun 2003, jadi tahun 2013 ini sudah 40 tahun) saya hidup membiara. Mungkin Yesus dulu sangat berkenan dengan persembahan saya yang berupa kuku dan rambut, karena itu adalah satu-satunya milik saya. Seperti Yesus berkenan dengan persembahan seorang janda miskin yang hanya mampu memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan.
Sr. Antonia SFS


Selasa, 05 November 2013

Adakah Aku Engkau Panggil, Tuhan?



Para Pembaca terkasih,


Dalam tulisan saya yang pertama, saya mau menuliskan pengalaman saya. Berikut ini pengalaman saya yang sudah pernah dimuat di majalah ROHANI bulan Mei 2002. Sudah lama sekali ya? Tapi sebagai pengalaman, tetap saja begitu. Saya biasanya menulis dengan nama “Valentina Widya”. Selamat membaca dan kapan-kapan saya tulis pengalaman yang lain.


Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS






Adakah Aku Engkau Panggil, Tuhan?


Seorang gadis. Sangat rajin ke gereja. Bukan hanya tiap hari Minggu, tapi hampir setiap hari. Ini karena nasihat ibunya: “Nak, pergilah ke gereja setiap hari selagi engkau belum bersuami. Kalau engkau sudah menikah nanti, siapa tahu, karena banyaknya pekerjaan, kamu tak lagi bisa sering-sering ke gereja.

Adalah hal yang biasa, bila suatu saat gadis itu jatuh cinta. Seorang pemuda bermata tajam telah mencuri hatinya. Ternyata gadis itu tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka berkenalan, berkirim surat, berjumpa, bercanda, berbagi cerita, dan mereka merasa sangat bahagia.

Pada suatu hari Minggu, gadis itu pergi ke gereja. Hari Minggu panggilan. Di akhir kotbah, Romo mengatakan: “Kalian pemuda-pemudi Katolik, bila misa ini nanti selesai, dan kalian keluar dari pintu gereja ini, bertanyalah dalam hatimu. Adakah aku Engkau panggil Tuhan?”

Misa selesai. Gadis itu keluar dari pintu gereja dan bertanya dalam hati: “Adakah aku Engkau panggil Tuhan?” Tak ada jawaban. Si gadis terus berjalan dan dalam perjalanan itu ia dengar pertanyaan: “Adakah engkau mencintai Aku melebihi segala sesuatu?” Dengan cepat dan bersemangat gadis itu menjawab: “Ya Tuhan, aku mencintaiMu melebihi segala sesuatu!”

“Adakah engkau rela meninggalkan orang tua, sanak saudara, harta benda, dan segalanya, untuk mengikuti Aku?” “Meninggalkan orang tua, saudara, bagiku sudah biasa. Meninggalkan harta, aku memang tidak punya. Tapi meninggalkan segalanya, termasuk dia, aku tak bisa. Aku sangat mencintainya.” Terdengar suara tawa.

Kamu bukan mencintai dia, tapi mencintai dirimu sendiri. Bukankah ia seorang mahasiswa, yang menurut perhitunganmu mempunyai masa depan cerah? Bagaimana kalau ia gagal dalam studi?” “Aku tetap mencintainya. Keberhasilan studi bukan jaminan kebahagiaan. Dalam kegagalan itu kami bisa mencari jalan agar kami tetap dapat menghadapi kehidupan bersama-sama.”

“Bagaimana kalau suatu hari dia mendapat kecelakaan, ptah kakinya?” “Aku tetap mencintainya. Dengan cacatnya itu kami akan tetap bersama-sama mencari nafkah dan kami akan tetap bahagia.”Bila dalam kecelakaan rusak wajahnya? Wajah tampan yang selalu kau rindukan itu?” “Aku tetap mencintainya!”

“Jadi, adakah engkau mencintai Aku melebihi segala sesuatu?” “E …, aku …, aku tak tahu!”



Sr. Antonia SFS





Kamis, 31 Oktober 2013

"PENITEN REKOLEKTIN DAN IBU ROSA DE BIE"

Peniten Rekolektin dan Ibu Rosa de Bie

            Seperti St. Fransiskus yang mau tidak mau mengadopsi bentuk-bentuk pertobatan serta praktek-praktek dari kelompok-kelompok peniten yang ada pada zamannya, demikian pula yang terjadi ketika pada tahun 1839 Ibu Rosa de Bie memulai kelompoknya di Bergen op Zoom. Dengan mengambil apa yang ada di Breda darimana cabang mereka berasal, Ibu Rosa de Bie mau tidak mau mengambil dan meneruskan praktek-praktek di Breda, sambil memberi tekanan pada hal tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan RS, tempat mereka bekerja. Dari buku “Peringatan 100 tahun Peniten Rekolektin” menjadi jelas bahwa misi utama kelompok Rosa de Bie waktu itu adalah bekerja di RS Umum dengan status resmi karyawati. Tetapi secara tersembunyi sebenarnya mereka adalah peniten rekolektin, cabang Breda, yang pimpinan umumnya adalah Ibu Theresia Saelmakers yang nama salinya Barbara Saelmakers.
            Situasi masyarakat di Bergen op Zoom dan Nederland serta Belgia umumnya pada masa itu tidak memungkinkan  para biarawati untuk hidup terbuka, karena banyak biara dibubarkan dan karena terjadi tekanan hebat atas hidup religius oleh pemerintah yang amat liberal. Latar belakangnya adalah revolusi Perancis serta perang berkepanjangan yang melibatkan hampir semua daerah yang tadinya Katolik. Gerakan liberal bahkan membubarkan banyak biara kontemplatif karena dianggap ”tidak produktif”. Beberapa biara aktif dibiarkan karena dinilai “berguna” untuk kepentingan masyarakat terutama yang melayani pendidikan (sekolah) dan kesehatan. Kaisar Yosef II dari Austria banyak berperan dalam menutup jaringan/kontak antara biara-biara induk dengan cabang-cabangnya sehingga banyak komunitas terpaksa melepaskan diri dan menjadi kongregasi tersendiri.
            Dengan bekal semangat Peniten Rekolektin Ibu Rosa de Bie dan kawan-kawan tetap bertahan dan secara diam-diam menjalankan cara hidup serta pekerjaan sebagai karyawati RS Umum dalam situasi yang serba terbatas. Tetapi ketika RS dijual, mereka langsung membelinya dan pada tanggal 1 Maret 1882 mereka membentuk sebuah yayasan bernama “Yayasan Katharina” dengan tujuan: perawatan lansia.
Catatan:
  1. lalu, pada tahun 1855 Ibu Rosa de Bie membentuk suatu Badan Hukum untuk karya di RS, dengan semboyan “toeflugt in leiden” (=pengungsian dalam penderitaan)
Pada tahun 1855 itu juga Uskup Breda memberi sebuah Konstitusi bagi suster-suster peniten rekolektin di Breda, Roosendaal dan Bergen op Zoom, dengan pembagian/tekanan khusus dalam bidang karya, yaitu :
    • Roosendaal  melayani bidang pendidikan, sedangkan para suster BOZ    - untuk karya-karya kasih, yakni perawatan orang sakit (buku Peringatan 100 tahun --- hal 31)

Tahun 1898, dalam konstitusi tentang tujuan Kongregasi BOZ dikatakan : ”Tujuannya adalah untuk menyucikan anggota-anggotanya, dan melayani orang-orang yang memerlukan bantuan, dengan cara melakukan beberapa karya cintakasih”
Tanda pengenalnya adalah : Salib.
Tahun 1908 perumusan itu diubah menjadi: “menyucikan anggota-anggotanya dan berguna bagi semua manusia, dengan cara merawat orang sakit, dan orang-orang lain yang memerlukan bantuan” (bdk. Konstitusi SFS 2000, pasal 4).
Sedangkan tentang semangat anggota-anggotanya Konstitusi 1908 mengatakansebagai berikut:
“Semangat anggota-anggotanya ialah semangat doa dan kontemplasi, pertapaan dan pengendalian diri, pelepasan diri dari hal-hal duniawi, ketaatan, kerendahan-hati, cintakasih dan pengorbanan diri” (Bdk. Konstitusi 2000, pasal 3)
Karena sadar bahwa mereka keturunan dari Reformasi Limburg maka tentang salib dikatakan sebagai berikut: “Pada skapulir dipasang tanda pengenal suster-suster reformasi Limburg, yaitu sebuah salib dengan keterangan tentang sengsara Yesus”.
Pada buku (Peringatan 100 tahun ... halaman 32), tentang slot (pingitan) bahwa slot adalah warisan Ibu Yohana dari Yesus yang merupakan otoritas dan teladan, sedangkan bacaan rohani dikatakan: supaya para suster membaca buku-buku tertentu saja, yakni buku-buku yang tidak bertentangan dengan semangat Kongregasi serta bidang karyanya.
Pada tanggal 4 Oktober 1927 Paus Pius XI memberi AD yang baru kepada pimpinan biarawan/i Ordo III Regular, menggantikan AD Paus Leo X tahun 1521.
Pada tahun 1923, waktu peringatan tiga abad Reformasi Limburg, kepada suster-suster BOZ, Uskup Breda menegaskan hal-hal berikut :

1). Para suster BOZ adalah peniten rekolektin
2). Semangat kongregasi adalah :
a. Semangat doa dan kontemplasi (rekolektin)
b. Pertapaan dan pengendalian diri (Peniten)
c. Pelepasan dari hal-hal duniawi
d. Ketaatan
e. Kerendahan hati
f. Cintakasih yang melayani dan pengendalian diri
g. Keriang-gembiraan fransiskan
Ketujuh point ini rupanya terpelihara dengan baik sampai abad 21 ini, sebab masih dikutip dalam Konstitusi 2000.
3). Tentang busana dan slot ditegaskan bahwa tetap seperti yang digariskan oleh ibu Yohana.
4). Tentang meditasi dikatakan:
Nama rekolektin dan tanda-tanda sengsara Yesus yang tertera pada skapulir, mengajak mereka dengan tak henti-hentinya bersopan-santun dengan sungguh-sungguh, serta merenungkan kehidupan dan wafatNya “Sang Pengantin Ilahi”
5). Tentang bacaan rohani ditunjukkan referensi pada
a) Riwayat hidup Ibu Yohana
b) Riwayat hidup Santo Fransiskus dan santa Elisabeth serta Orang-orang Kudus Serafik.

 Peniten Rekolektin dan Para suster BOZ di Indonesia

Beberapa catatan awal.
Dibandingkan dengan kelompok-kelompok religius lain, suster-suster peniten rekolektin BOZ di Sukabumi nampaknya mendapat karunia istimewa dari Allah, yang patut disyukuri terutama karena dua hal yaitu:
1.    Arsip yang rangkap dan
2.    Perkembangan karya
Karena hal-hal berikut:
1)    Hampir seluruh gerak langkah para perintis Kongregasi mulai sejak masuk di Indonesia, tepatnya hari Kamis Putih 13 April 1933 sampai saat ini tercatat dengan baik berkat dorongan Ilahi yang berkarya melalui berbagai pihak,yaitu:
  • Para suster perintis (missionaris pertama)sendiri (enam orang)
  • Para pemimpin di negeri Belanda
  • Pihak Hirarki Gereja di Keuskupan Breda di Belanda
  • Pastor Proki di Sukabumi waktu itu, Pastor Lukas, SJ
  • Para petugas arsip di negeri Belanda
  • Para suster di Indonesia yang terlibat dalam usaha terjemahan dan penerbitan naskah-naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda
2)    Bahwa dalam kurun waktu 73 tahun kehadirannya (1933-2006) di Indonesia, sudah terdapat 11 komunitas yang melayani karya-karya seperti sekolah (TK s.d. SMA), 2 Rumah Sakit, 2 Poliklinik dan beberapa karya lain seperti 1 rumah jompo, panti asuhan, 1 rumah retret, yang kesemuanya tetap bercorak peniten rekolektin.

Sehubungan dengan refleksi ini, maka hal-hal yang ingin diperdalam secara khusus adalah pokok-pokok yang berkaitan dengan usaha-usaha serta pengalaman-pengalaman para suster pioner. Dengan kata lain, fokus akan diberikan pada bagaimana para suster itu berjuang agar visi serta misinya hidup dan berkembang. Semoga dari situ akan ditemukan hal-hal yang bermanfaat bagi para pengikutnya dari masa ki  ni. Hal-hal itu antara lain :
1.    Adanya dukungan penuh dari persaudaraan di Belanda. Sejak diputuskan untuk membuka misi di Indonesia, seluruh persaudaraan giat menyiapkan segala sesuatu terutama para suster yang tepat hingga terpilihlah 6 orang terbaik.
Dukungan persaudaraan di Belanda, namapak jelas dalam :
a). Pembicaraan-pembicaraan intensif dengan pihak Uskup menyangkut korespodensi dengan pihak-pihak di Indonesia, dalam lingkungan sendiri menyangkut  seleksi calon missionaris, dengan para calon yang potensial
b). Penentuan kriteria calon pastilah dibahas secara intensif dalam dewan, dengan memperhatikan kemampuan fisik-mental, kemampuan untuk bekerjasama dan spesialisasi. Dukungan finansial dan doa yang menarik ialah bahwa soal kesiapsediaan untuk diutus tidak dibicarakan; supaya hal itu dianggap tidak perlu dibicarakan, sebab dianggap sebagai sesuatu yang otomatis harus ada dalam diri setiap peniten rekolektin “demi ketaatan”.
2.    Adanya kesadaran untuk terlibat dalam misi universal Gereja, pergi ke tanah misi.  Gairah zaman di Eropa masa itu, pasti ikut mempengaruhi para religius sehingga Kongregasi cepat tanggap, begitu ada permintaan dari tanah misi. Walaupun tidak ada survey namun sama sekali tidak ada keluhan apalagi keberatan soal kekurangan tenaga.
Semangat misi ini terbukti kemudian ketika hanya beberapa bulan setelah kelompok pertama langsung dikirim rombongan kedua dan ketiga, masing-masing satu dan tiga orang suster pada tahun 1934.
3. Adanya perhatian berupa pendampingan  terhadap para misionaris, bukan hanya oleh pimpinan tetapi oleh seluruh persaudaraan di Belanda, dalam bentuk  perayaan Ekaristi saat perutusan, kunjungan Pemimpin Umum setelah para misionaris berada di tempat (Oktober 1935-Februari 1935) dan pengiriman uang untuk kebutuhan di tanah misi
4.  Sikap dasar para misionaris perintis ->: iman yang teguh; yang nampak nyata dalam kesiapsediaan untuk diutus (walau ada yang belum kaul kekal);keterbukaan untuk menerima situasi baru dan kondisi baru yang sama sekali lain;dan mau menerima fakta di lapangan, bahwa keadaan tidak seperti yang diharapkan/ dijanjikan/diceriterakan.

Menerima dengan rendah hati kenyataan bahwa mereka harus hidup dalam kekurangan, dan harus menangani sendirihal-hal teknis seperti mengurus pipa air Hal 28)
5.   Berinisiatif dalam kekurangan, karena   mengutamakan pelayanan daripada kepentingan sendiri;untuk itu, mereka belajar bahasa Melayu; mengadakan “studi banding” ke Jawa Tengah dan dalam keterbatasan, berani membuka cabang pelayanan di Sukanegara, (1936) dan Cibeber (1937) sehingga dalam tempo 4 tahun sudah membuka pelayanan di 3 tempat dengan 11 tenaga
6.  Tidak kecil hati melainkan tegar dalam   menghadapi situasi yang berat, tanpa menjadi defensif: dalam situasi serba kekurangan, bagaikan ‘pengantin baru’*mereka berusaha berhemat dengan cara menabung;teguh dalam iman menghadapi tekanan dari pihak pemerintah dan masyarakat (yang bahkan) fanatik Islam *.
-  Tetap teguh dan ceria sebagai tawanan perang
! Kisah pada halaman 22 mempelihatkan suatu perjanjian yang tidak seimbang lebih banyak kewajiban daripada hak. Namun diterima dengan lapang dada.
7.   Adanya kerjasama yang akrab, sehati      sepenanggungan diantara para misionaris
8.   Tetap penuh syukur dan optimis. Adalah menarik untuk direnungkan, betapa para perintis itu tetap memperlihatkan rasa terima kasih, syukur dan bergembira dalam keadaan yang serba sulit tanpa mencari nama, selain untuk kemuliaan Allah;dan untuk mengenang Fransiskus serta Ibu Rosa de Bie (seperti tertulis pada halaman 16 : “begitulan ...dst... s.d. ... datanglah membantu kami)
9.   Sikap taat dan pasrah kepada Penyelenggaraan Ilahi sehingga pada waktu perang/pendudukan Jepang mereka sama sekali tidak takut bahkan sempat ‘kucing-kucingan’ soal duit (menyembunyikan uang)
- sempat main kartu disaat ditindas
- tetap bergembira sebagai tawanan
- walaupun banyak lalat (disentri) kutu busuk dan
- makan dari dapur umum
Sikap-sikap yang diungkapkan itu dengan jelas memperlihatkan adanya ‘kekuatan’ tertentu yakni semangat Peniten Rekolektin yang pastilah sudah kokoh tertanam dalam diri para suster perintis, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok.
* Kebajikan-kebajikan itulah yang patut kita teladani terutama agar kita belajar tentang kegembiraan dalam kekurangan.


 Jiwa dan Semangat Peniten dalam AD, Konstitusi, Statuta SFS.
1. AD sebagai jiwa yang mempersatukan dan mengarahkan
2. Konstitusi dan Statuta sebagai pedoman pelaksanaan
3. Agar semangat peniten (rekolektin) diperkokh
4. pengendapan
mengagumi tempat-tempat yang berkaitan dengan kehidupan fransiskus, tetapi tak terbilang juga orang yang memutuskan untuk mengikuti jejaknya karena terpikat oleh cara hidup dan ajarannya.
       Mengapa Fransiskus seperti itu? Apa yang membuat pribadi Fransiskus disukai? Mengapa cara hidup dan kata-katanya mampu menyihir orang sehingga diyakini sebagai jaminan pasti?
       Fioretti menyajikan sebuah kisah menarik tentang saudara Masseo, yang juga terheran-heran dan bertanya-tanya seperti itu.
Pada suatu kesempatan, sdr Masseo bepergian bersama Fransiskus. Karena kerendahan hatinya yang amat menonjol lagi pula saleh, sdr Masseo disukai oleh Fransiskus. Nah, ketika sedang berjalan itu sdr Masseo disibukkan oleh satu pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri. Maka sdr Masseo lalu memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Fransiskus, katanya ;”Sdr Fransiskus mengapa dibuntuti? Mengapa engkau dibuntuti? Mengapa seluruh dunia membuntuti engkau? Perawakanmu tidak menarik, lagi pula engkau bukan bangsawan dan sama sekali tidak terpelajar. Tetapi mengapa engkau terus dibuntuti?
Dengan tak kalah rendah hati pula Fransiskus menjawab:”Oh Saudaraku yang baik, engkau mau tahu mengapa orang-orang membuntuti aku? Mengapa aku? Kalau engkau mau tahu apa alasannya maka aku mengatakan kepadamu dengan sejujurnya, ialah karena di dunia ini Allah yang Mahatinggi tidak menemukan seorangpun yang paling hina dan paling berdosa selain aku”
                  Masseo tentu tidak setuju. Ia tidak bisa memahami dan tidak menerima penjelasan Fransiskus karena ia tahu bahwa Fransiskus sama sekali bukan penjahat, bukan pula seorang pendosa. Tetapi mengapa Fransiskus terus diikuti?








 Fransiskus seorang “Nabi” dan “Penunjuk jalan”.
        Tentu bukan hanya masseo bertanya yang seperti itu; banyak orang termasuk kita perlu bertanya-tanya, mengapa Fransiskus terus dibuntuti? Baik  selagi ia masih hidup, maupun kini 800 tahun kemudian. Mengapa tak henti-hentinya orang terpikat kepada Fransiskus?  Mengapa kita terpikat dan memutuskan untuk mengikuti jejak Fransiskus?
Ada banyak jawaban, dan semuanya benar. Tetapi ada dua alasan yang akan kita refleksikan yakni pertama Fransiskus seorang Nabi dan kedua karena Fransiskus adalah seorang penunjuk jalan yang paling manusiawi.
             Pada setiap zaman pada tempat dan dalam kebudayaan tertentu, Allah selalu memgirim orang tertentu sebagai nabi untuk menyampaikan kehendaknya terutama agar manusia bertobat. Kehendak Allah yang disampaikan seorang nabi dapat saja berupa sesuatu yang masih akan terjadi, atau yang sudah pernah ada di masa lalu, tetapi sudah dilupakan orang. Dalam kedua situasi, itu seorang nabi mengingatkan dan mempersiapkan umat akan sesuatu yang akan datang atau menyatakan hukuman atas apa apa yang dimasa lalu pernah dilakukan umat. Sang Nabi mengajak untuk bertobat atau mengajarkan apa yang harus dilakukan supaya hukuman Allah tidak terjadi. Karena seorang nabi selalu berada di pihak Allah maka ia adalah “corong” Allah untuk menyampaikan berkat atau kutuk. Maka itu memperhatikan suara nabi sama dengan memperhatikan suara Allah, sebab dalam tindakan atau kata-kata Nabi, orang menemukan Firman atau tindakan Allah. Kedekatannya pada Allah membuat seorang Nabi memiliki daya tersendiri, mirip seperti Allah yaitu bisa memikat, menarik dan mempesona, tetapi sekaligus bisa juga menakutkan, menggelisahkan, dan membuat orang terkesima lalu tunduk dan takut; tergantung dari misi apa yang disampaikan: Nabi memberi berkat atau kutuk.
       Dalam menyampaikan kehendak Allah seorang Nabi sering memakai cara-cara symbolik, baik dalam bahasa maupun tindakannya, seperti para Nabi dalam PL (Yeremia misalnya, harus dijamah/disentuh mulutnya  (Yer 1:9) atau ikat pinggang yang lapuk (Yer 13), buli-buli yang pecah (Yer 19) begitu juga Nabi-nabi lain dalam PL).
       Karena harus menyatakan kehendak Allah, kehidupan seorang Nabi seringkali, penuh resiko ditolak atau bahkan terancam nyawanya. Tetapi seorang Nabi tidak pernah takut untuk menyatakan kebenaran Allah, walaupun nyawanya sendiri terancam (Bdk. Yohanes Pemandi)



Fransiskus seorang Nabi :
       Kendati tidak pernah mendapat gelar atau sebutan Nabi, kata-kata, tindakan dan bahkan cara hidup Fransiskus dalam banyak hal mirip seorang Nabi. Kata-katanya seringkali tajam menembus isi hati. Sikap serta tingkahlakunya menyadarkan sekaligus mengajak orang untuk bertobat, dan cara hidupnya selalu mengajak orang segera menyesali apa yang sudah atau sedang terjadi dan dengan demkian, mendorong orang untuk bertobat. Fransiskus mengingatkan orang tentang perilaku yang salah, sekaligus mengajarkan cara bagaimana memulihkan kesalahan itu. Ajarannya bahkan begitu konkrit sehingga dengan mudah orang menangkapnya dan dengan senang hati pula melaksanakannya. Symbolisasi dalam kata-kata atau tindakan Fransiskus juga tidak berbelit-belit.
Kedekatan Fransiskus pada Allah, kiranya menjadi kunci ampuh untuk memahami banyak hal tentang Fransiskus. Kedekatannya dengan Allah dihayatinya sebagai sebuah kenyataan yang harus selalu dipelihara dan dipupuk, bukan sekedar sebuah wacana atau cita-cita.
o    Dalam Wasiat, berkali-kali Fransiskus mengatakan bahwa Allah sendirilah yang menuntun , menginspirasikan dan mengerjakan banyak hal dalam dirinya.
o    Dalam surat-suratnya, betapa sering Fransiskus memakai kata-kata atau ungkapan yang penuh kasih sayang kebapaan yang prihatin dan penuh perhatian terhadap orang-orang kecil dan pendosa
o    Para biograf juga menyajikan banyak kisah tentang mengandung kedekatan Fransiskus dengan Allah Tritunggal, umpamanya; Fransiskus melihat Sang Mahaindah dalam segala yang indah; Fransiskus melihat Yesus dalam anak domba, serta binatang-binatang tak berdaya (bdk cacing); Fransiskus melihat peran Roh Kasih dalam kebersamaan persaudaraan (menulis bait kusus dalam Kidung saudara Matahari  untuk mendamaikan Uskup dan Walikota Asisi); atau menyuruh Masseo berputar-putar untuk mengetahui kehendak Roh.
Kedekatan Fransiskus dengan Allah Tritunggal, khususnya dengan Yesus yang miskin dan tersalib, membekali dia untuk menjadi bagaikan “bintang fajar” bagi masyarakat yang hidup dalam kekelaman dosa atau bagaikan “sungai” yang mengisi ladang-ladang hati yang kering.
Kedekatan itu pulalah yang membuat Fransiskus selalu penuh dengan Yesus sehingga dalam hal doa dia tidak lagi berdoa tetapi telah menjadi ‘doa itu sendiri’ (1 Cel ...) Puncak kedekatan itu tentu saja stigmata, yang menjadikan Fransiskus “Alter Christus” atau gelar yang lain yakni “manusia Allah”
 



Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi


Moeder Rosa De Bie