Para Pembaca Terkasih,
Satu
lagi cerita dari saya yang saya alami dalam masa postulan saya. Tapi cerita ini
pun sekarang juga hanya membuat saya senyum-senyum saja.
Salam dan doa
saya
Sr. Antonia SFS
Pisau Kecil
Sudah sekitar 8 bulan saya menjalani
hidup sebagai postulan. Suatu saat saya mendapat giliran untuk tugas di rumah
seperti yang sudah pernah saya terima. Cuci piring, membersihkan ruangan, wc,
kamar mandi, selokan, dan bersih-bersih apa saja. Satu hal yang menjadi
ganjalan bagi saya saat itu, yaitu hilangnya sebilah pisau kecil.
Sebenarnya pisau itu menurut saya
pisau usang saja. Dengan cat merah yang mengelupas pada gagangnya serta mata
pisau yang sudah melengkung karena sudah terlalu lama dipergunakan. Tapi
masalahnya, pisau itu harus kutemukan. Bila tidak aku pasti harus menghadap
Magistra Novis dan mengatakan: “Suster,
saya minta maaf karena telah menghilangkan pisau.” Kalimat itu sudah saya
hafalkan, tapi membayangkan bahwa saya harus mengucapkannya secara nyata terasa
berat bagi saya. Siapa sih yang
menghilangkan pisau? Pisau itu seperti tiba-tiba saja tidak ada. Tapi karena
aku yang bertugas di rumah, itulah tanggungjawabku. Ya kalau nanti langsung
dimaafkan. Kalau harus kucari dulu? Lebih baik aku mencari dulu sebelum aku
meminta maaf. Tapi kapan mencarinya? Waktu yang kumiliki kadang juga sangat
sempit.
Akhirnya kuputuskan sesudah makan
siang akan kucari dulu pisau itu. Akan kucari di kebun di tempat pembuangan
sampah. Mungkin pisau itu terbuang bersama kulit-kulit buah atau apa. Saya kira
ini perkiraan yang sungguh masuk akal. Pisau itu kecil, jadi tidak terlalu nampak
bila ia tercampur dengan sampah.
Siang itu masih cukup panas. Para
Suster sudah akan istirahat. Aku tinggal menyelesaikan pekerjaanku yang
terakhir, membuang sampah sesudah cuci piring. Kuangkat ember sampah dan kubawa
ke kebun. Kutumpahkan isinya di tempat pembuangan. Aku cari sepotong kayu untuk
mengaduk-aduk sampah buangan hari-hari kemarin. Kubalik sana kubalik sini.
Sesekali mataku memandang ke bukit di kejauhan. Seperti bukit yang nampak dari
desaku.
Tiba-tiba saja aku merasa rindu. Aku
rindu bersepeda sepanjang jalan Solo-Yogya. Aku rindu menapaki jalan-jalan
menuju rumahku dengan sepedaku. Lewat desa demi desa. Pinggiran sawah ladang
dengan padi, lombok dan terong yang siap dipetik. Ya, biasanya di hari-hari
panas begini aku berkayuh menuju rumah. Aku tidak pernah membayangkan bahwa
suatu saat di tempat yang jauh ini, di hari panas begini, aku berjongkok di
tempat pembuangan sampah untuk mencari pisau yang hilang.
Seandainya saja ada ibuku, dia pasti
akan rela membelikan pisau semacam itu untukku sehingga siang ini aku sudah
boleh beristirahat, dan tidak perlu mengaduk-aduk sampah. Ibu tidak pernah
terlalu mempermasalahkan dengan sendok garpu atau pisau yang hilang. Ia akan
membeli lagi jika sudah punya uang. Tapi sebenarnya masalahnya juga bukan soal
pisau. Masalahnya adalah tanggungjawabku. Aku harus belajar dan berlatih
bertanggungjawab.
Tahu-tahu aku sadari air mataku
mengalir. Sebenarnya aku sendiri juga kurang paham mengapa aku menangis. Aku
tahu pasti, ketemu atau tidak pisau itu, tidak akan membawa dampak banyak
bagiku. Aku tahu sesudah aku minta maaf, apalagi sesudah aku berusaha
mencarinya, masalahnya akan selesai.
Kuaduk-aduk lagi tempat pembuangan
sampah itu. Kucongkel sana kucongkel sini. Santo Antonius, kembalikan pisauku.
Namun aku kadang juga menjadi heran, meski sedih atau badan merasa sangat capai
karena mengepel lantai begitu luas namun tak pernah terlintas dalam pikiranku
untuk surut langkah. Mungkin ini seperti saat aku sekolah dulu. Meskipun di
kota aku sangat rindu untuk pulang, tapi aku tahu bahwa aku harus menyelesaikan
sekolahku.
Salam
Maria penuh rahmat Tuhan sertamu …, kubalik-balik lagi sampah bau itu. Terpujilah engkau di antara …, o Bunda
Maria tolonglah aku. Kubalik-balik, kucongkel-congkel, kuaduk-aduk,
terus-terus. Saat tanganku sudah capai, kepala pusing dan rasa putus asa,
kulihat kayu kecil mencuat. Kayu kecil dengan cat merah mulai mengelupas.
Gagang pisau …! O Tuhan terima kasih. Akhirnya Kau kembalikan juga pisauku.
Terima kasih. (Dimuat di Majalah Semangat sekitar tahun 1980).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar