Kamis, 02 Januari 2014

PISAU KECIL..



Para Pembaca Terkasih,
            Satu lagi cerita dari saya yang saya alami dalam masa postulan saya. Tapi cerita ini pun sekarang juga hanya membuat saya senyum-senyum saja.  
Salam dan doa saya
Sr. Antonia SFS

Pisau Kecil

            Sudah sekitar 8 bulan saya menjalani hidup sebagai postulan. Suatu saat saya mendapat giliran untuk tugas di rumah seperti yang sudah pernah saya terima. Cuci piring, membersihkan ruangan, wc, kamar mandi, selokan, dan bersih-bersih apa saja. Satu hal yang menjadi ganjalan bagi saya saat itu, yaitu hilangnya sebilah pisau kecil.
            Sebenarnya pisau itu menurut saya pisau usang saja. Dengan cat merah yang mengelupas pada gagangnya serta mata pisau yang sudah melengkung karena sudah terlalu lama dipergunakan. Tapi masalahnya, pisau itu harus kutemukan. Bila tidak aku pasti harus menghadap Magistra Novis dan mengatakan: “Suster, saya minta maaf karena telah menghilangkan pisau.” Kalimat itu sudah saya hafalkan, tapi membayangkan bahwa saya harus mengucapkannya secara nyata terasa berat bagi saya. Siapa sih yang menghilangkan pisau? Pisau itu seperti tiba-tiba saja tidak ada. Tapi karena aku yang bertugas di rumah, itulah tanggungjawabku. Ya kalau nanti langsung dimaafkan. Kalau harus kucari dulu? Lebih baik aku mencari dulu sebelum aku meminta maaf. Tapi kapan mencarinya? Waktu yang kumiliki kadang juga sangat sempit.
            Akhirnya kuputuskan sesudah makan siang akan kucari dulu pisau itu. Akan kucari di kebun di tempat pembuangan sampah. Mungkin pisau itu terbuang bersama kulit-kulit buah atau apa. Saya kira ini perkiraan yang sungguh masuk akal. Pisau itu kecil, jadi tidak terlalu nampak bila ia tercampur dengan sampah.
            Siang itu masih cukup panas. Para Suster sudah akan istirahat. Aku tinggal menyelesaikan pekerjaanku yang terakhir, membuang sampah sesudah cuci piring. Kuangkat ember sampah dan kubawa ke kebun. Kutumpahkan isinya di tempat pembuangan. Aku cari sepotong kayu untuk mengaduk-aduk sampah buangan hari-hari kemarin. Kubalik sana kubalik sini. Sesekali mataku memandang ke bukit di kejauhan. Seperti bukit yang nampak dari desaku.
            Tiba-tiba saja aku merasa rindu. Aku rindu bersepeda sepanjang jalan Solo-Yogya. Aku rindu menapaki jalan-jalan menuju rumahku dengan sepedaku. Lewat desa demi desa. Pinggiran sawah ladang dengan padi, lombok dan terong yang siap dipetik. Ya, biasanya di hari-hari panas begini aku berkayuh menuju rumah. Aku tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat di tempat yang jauh ini, di hari panas begini, aku berjongkok di tempat pembuangan sampah untuk mencari pisau yang hilang.
            Seandainya saja ada ibuku, dia pasti akan rela membelikan pisau semacam itu untukku sehingga siang ini aku sudah boleh beristirahat, dan tidak perlu mengaduk-aduk sampah. Ibu tidak pernah terlalu mempermasalahkan dengan sendok garpu atau pisau yang hilang. Ia akan membeli lagi jika sudah punya uang. Tapi sebenarnya masalahnya juga bukan soal pisau. Masalahnya adalah tanggungjawabku. Aku harus belajar dan berlatih bertanggungjawab.
            Tahu-tahu aku sadari air mataku mengalir. Sebenarnya aku sendiri juga kurang paham mengapa aku menangis. Aku tahu pasti, ketemu atau tidak pisau itu, tidak akan membawa dampak banyak bagiku. Aku tahu sesudah aku minta maaf, apalagi sesudah aku berusaha mencarinya, masalahnya akan selesai.
            Kuaduk-aduk lagi tempat pembuangan sampah itu. Kucongkel sana kucongkel sini. Santo Antonius, kembalikan pisauku. Namun aku kadang juga menjadi heran, meski sedih atau badan merasa sangat capai karena mengepel lantai begitu luas namun tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk surut langkah. Mungkin ini seperti saat aku sekolah dulu. Meskipun di kota aku sangat rindu untuk pulang, tapi aku tahu bahwa aku harus menyelesaikan sekolahku.
            Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu …, kubalik-balik lagi sampah bau itu. Terpujilah engkau di antara …, o Bunda Maria tolonglah aku. Kubalik-balik, kucongkel-congkel, kuaduk-aduk, terus-terus. Saat tanganku sudah capai, kepala pusing dan rasa putus asa, kulihat kayu kecil mencuat. Kayu kecil dengan cat merah mulai mengelupas. Gagang pisau …! O Tuhan terima kasih. Akhirnya Kau kembalikan juga pisauku. Terima kasih. (Dimuat di Majalah Semangat sekitar tahun 1980).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar